VISI
BARU GERAKAN MAHASISWA
“Selama
kaum terpelajar kita melihat perjuangan kemerdekaan sebagai akademi saja,
selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah
mereka melangkah keluar dari kamar pelajaran serta meleburkan diri dalam
politik revolusioner yang aktif.” (Tan Malaka)
Memang bukan tema yang
asing lagi membincangkan gerakan mahasiswa. Namun bukan berarti basi. Bukan
berarti membuang waktu dan energy. Karena setiap saat kita butuh visi baru
tentang segala aspek kehidupan, termasuk gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa
telah mengalami beberapa masa keemasannya. Terhitung sejak masuknya pendidikan
yang dienyam oleh kaum pribumi, gerakan mahasiswa (yang pada masa itu identik
dengan istilah ‘pemuda’), telah berperan aktif dalam dinamika perjuangan
bangsa. Pembentukan Jong (young) Java tahun 1915, Jong Sumateranen Bond tahun
1971, Jong Ambon tahun 1918, Jong Islamieten Bond tahun 1925 menjadi symbol
progresivitas kaum terdidik.
Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928 dan dikumandangkannya lagu “Indonesia Raya’ di Gedung Indonesische
Clubgebouw dihadapan pemerintah colonial menjadi pemantik yang dramatis;
pengobar api perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gerakan pemuda dengan puncaknya
pada proklamasi menjadi preseden dan romantisme pemuda generasi beberapa decade
setelahnya Dengan pengalaman represivitas dan otoritarianisme era Orde Baru,
mahasiswa menyatukan dirinya dalam satu gerakan massa, yang pada puncaknya, Mei
1998. Gerakan mahasiswa menuntut turunnya Soeharto mendapatkan keinginannya
setelah presiden kedua itu menyerah untuk menurunkan kekuasaannya.
Pasca peristiwa
tersebut, gerakan mahasiswa mengalami penurunan baik kualitas dan kuantitas.
Sudah sangat jarang kita mendengar berita tentang keberpihakan “pelajar yang
bergelar maha” ini terhadap permasalahan social kemasyarakatan. Justru acap
kali kita dikagetkan dengan tingkah laku negatif mahasiswa. Mahasiswa tampaknya
perlu disadarkan kembali dalam sebuah kerangka berfikir bahwa dirinya adalah
satu kelompok yang berada dalam struktur social masyarakat, memiliki kelebihan
dalam keilmuan, dan jaringan social-politik nasional.
Menjadi mahasiswa,
sadar atau tidak sadar segala aktivitas yang kita lakukan baik kegiatan
akademis maupun non akademis, memberikan pengaruh terhadap kemajuan bangsa.
Seorang mahasiswa yang belajar sungguh-sungguh dan expert di bidangnya dapat
mengharumkan nama bangsa dengan keikutsertaan dan keberhasilannya dalam
perlombaan tingkat internasional. Selain itu, ilmu pengetahuan yang dimilikinya
dapat digunakan untuk berbagai inovasi di bidangnya. Seorang mahasiswa yang
aktif di organisasi kemahasiswaan dapat mengasah jiwa kepemimpinannya, sehingga
kelak menjadi pemimpin yang teruji. Oleh karena itu, berjuang untuk kemajuan
bangsa adalah pilihan paradigmatic yang tidak terelakan oleh seorang mahasiswa.
Mengabaikan pilihan ini sama saja memunafikkan eksistensi seorang mahasiswa.
Kedepan perlu dipahami
bahwa gerakan mahasiswa merupakan sebuah kontinuitas gerak. Aktivitas boleh
berganti, strategi dan taktik dapat saja berubah, varian penindasan dapat saja
lebih cantik, tetapi spirit perjuangan tidak akan pernah pudar. Gerakan
mahasiswa akan selalu hadir dalam dunia yang masih dikotomik. Artinya, bila ada
kelompok yang menindas, gerakan mahasiswa akan melakukan perjuangan akselarasi
bagi kaum tertindas. Hal ini sudah menjadi tanggung jawab moral gerakan
mahasiswa senantiasa memihak pada kaum yang tertindas.
“Lebih
baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan” (Soe Hok Gie).
Danu Eko
Agustinova,
BEM
FISE 2008 dan Ketua HMPS 2009
*pernah
dimuat di Buletin Lentera kampus Merah, Edisi I Pilwarek UNY, Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi Lentera mengucapkan terimakasih atas kritik dan saran.
Redaksi menerima berbagai macam tulisan opini, artikel maupun info berita dll, kirim ke emali : bemfisuny@ymail.com atau langsung ke kantor kesekretariatan BEM FIS UNY di Kompleks Gedung Merah Fakultas Ilmu Sosial UNY, Telp/sms. 085790204920
JANGAN LUPA UNTUK MENINGGALKAN KOMENTAR !!!